Tuesday, October 25, 2016

Berkunjung ke Museum Sumpah Pemuda

Jika ada yang bingung saat membaca judul posting ini, jangan merasa bahwa anda orang aneh ya. Saya juga baru mengetahui ada museum yang bernama Museum Sumpah Pemuda pada saat saya sudah kerja. Nama museum ini memang tidak seterkenal Museum Nasional ataupun museum lainnya. Mungkin karena isinya hanya mengenai hal-hal yang berhubungan dengan peristiwa Sumpah Pemuda.

Karena selalu melewati museum ini, lama-lama jadi penasaran juga apa sih isinya. Akhirnya kami memutuskan pada tanggal 28 Oktober nanti kami akan melihat museum ini. Tetapi minggu lalu, kami mendapatkan undangan dari Museum Sumpah Pemuda untuk menghadiri acara pembukaan pamerah tokoh dokter Moewardi. 
Undangan yang kami terima
Berbekal undangan yang ada, kami berkunjung ke Museum Sumpah Pemuda. Cukup penasaran apa sih isinya? Di pikiran saya paling hanya naskah Sumpah Pemuda. Ternyata isinya jauh lebih menarik dari yang saya bayangkan. 
Di bawah tulisan ini terdapat maket museum.
Dimulai dari teras rumah, bentuk bangunan rumah ini sama persis seperti bentuk rumah pada zaman Belanda. Memang museum ini merupakan salah satu cagar budaya, yang artinya bangunannya dilestarikan. 
Kramat Raya pada masa dulu. Jalanannya masih luas.
Sebelum menjadi museum,bangunan ini awalnya merupakan rumah tinggal milik Sie Kong Liang. Pada tahun 1908, gedung ini disewa pelajar Stovia dan RS sebagai tempat tinggal dan belajar. Saat itu gedung ini dikenal sebagai Commensalen Huis, yang kalau sekarang disebut kos-kosan. Banyak tokoh-tokoh penggerak kemerdekaan tinggal di sini, seperti Muhammad Yamin, Amir Sjarifoedin, Soerjadi (Surabaya), Soerjadi (Jakarta), Assaat, Abu Hanifah, Abas, Hidajat, Ferdinand Lumban Tobing, Soenarko, Koentjoro Poerbopranoto, Mohammad Amir, Roesmali, Mohammad Tamzil, Soemanang, Samboedjo Arif, Mokoginta, Hassan, dan Katjasungkana.
Museum Gadjah
Pada tahun 1927, gedung ini digunakan oleh berbagai organisasi pergerakan pemuda untuk melakukan kegiatan pergerakan. Gedung yang semula bernama Langen Siswo berubah menjafi Indonesische Clubhuis atau gedung pertemuan. Pada tahun 1928, gedung ini digunakan sebagai tempat melaksanakan Kongres Pemuda dan lahirlah Sumpah Pemuda. Tetapi setelah mahasiswa-mahasiswa yang tinggal di sini lulus kuliah, maka rumah ini disewakan kepada Pang Tjem Jam pada tahun 1934. Pang Tjem Jam tinggal di sini selama tiga tahun. Setelah habis masa sewanya, rumah ini disewa oleh Loh Jing Tjoe dan digunakan sebagai toko bunga, dari tahun 1937-1948. Pada tahun 1948, tempat ini beralih fungsi menjadi Hotel, yang bernama Hotel Hersia, dari tahun 1948 - 1951. 
Daerah Pintu Kecil, Kota
Kota Tua
Setelah itu, rumah ini disewa oleh Inspektorat Bea dan Cukai untuk perkantoran dan penampungan karyawan selama 19 tahun. Dan pada tanggal 3 April 1973, pemda DKI memugar tempat ini selama satu bulan dan rumah ini pun dijadikan museum Sumpah Pemuda. Melihat sejarah bangunan ini sendiri bagi saya merupakan hal yang menarik, dimana orang dengan berbagai macam suku, ras, kepercayaan berkumpul bersama untuk Indonesia.
Gedung Arsip
Museum ini sendiri terbagi menjadi empat bagian. Yang pertama adalah segala hal yang berhubungan dengan Sumpah Pemuda. Yang kedua adalah hal-hal yang berhubungan dengan kepanduan, karena ternyata kepanduan atau kepramukaan menjadi salah satu bahasan dalam kongres Pemuda yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Yang ketiga adalah bagian untuk mengenal Wage Rudolf Soepratman, pencipta lagu Indonesia Raya. Yang keempat adalah perpustakaan yang menyediakan literatur-literatur sejarah yang berhubungan dengan peristiwa Sumpah Pemuda.
Para Pendiri Perhimpunan Indonesia. Dari kiri-kanan: Darmawan Mangoenkoesoema, Mohammad Hatta,
Iwa K Sumantri, R.Sastromoeljono, R.M.Sartono
Saat memasuki gedung ini, kita seakan melihat suasana kos-kosan dimana ada patung para mahasiswa yang berkumpul sedang membahas sesuatu di ruang tamu. Kemudian saat masuk ke dalam ruangan lain, akan ada penjelasan sejarah Sumpah Pemuda, dan di ruangan lainnya ada mahasiswa yang sedang duduk mendengarkan radio. Yang menarik adalah dalam kongres ini, mereka mengadakan tiga rapat dalam dua hari, 27 - 28 Oktober 1928, di tiga tempat yang berbeda. 
Suasana ruang tamu, kalau datang ke sini malam-malam, mungkin akan beda :D
Ituloh radio tuanya. 
Yang pertama rapat diadakan pada tanggal 27 Oktober 1928 di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond atau perkumpulan pemuda Katolik. Pada rapat ini mereka membahas persatuan pada pemuda. Rapat kedua diadakan di Oost-Java Bioscoop atau bioskop Jawa Timur pada hari Minggu pagi, tanggal 28 Oktober 1928. Yang dibahas adalah masalah pendidikan. Entah bioskop zaman dulu sama dengan zaman sekarang atau tidak, tapi saat membaca, rasanya lucu juga membahas pendidikan di bioskop. Seakan memberikan gambaran bahwa pendidikan dapat dilakukan dimana saja. 
Diorama suasana saat kongres Pemuda kedua.
Yang ketiga, dan puncaknya adalah di gedung kramat ini, dan membahas mengenai nasionalisme dan gerakan kepanduan. Di tempat ini pulalah rumusan Sumpah Pemuda dikumandangkan. Dan sebelum mengakhiri kongres, WR Soepratman memperdengarkan lagu Indonesia Raya. Wah...rasanya saat di sana, jadi lebih terbayang suasana saat peristiwa ini terjadi. 
WR Soepratman sedang memainkan lagu Indonesia Raya di akhir Kongres
Lagu Indonesia Raya dalam ejaan lama
Sumpah Pemuda
Di bagian tengah museum adalah taman yang sedang digunakan untuk acara pembukaan pameran. Di dekat situ terdapat beberapa ruangan untuk sejarah kepanduan dan juga perpustakaan. Sebagai salah satu anggota Pramuka, saya senang sekali melihat ruangan ini. Dan isinya pun lengkap dengan perlengkapan-perlengkapan Pramuka pada masa dulu.
Perlengkapan Pramuka yang ada.
Dora menjadi Pramuka =D
Kacu atau dasi Pramukanya berwarna hijau loh.
Sayangnya tidak banyak waktu yang dapat kami habiskan di bagian ini karena anak-anak ingin segera masuk ke bagian pameran, walau besar sekali kemungkinannya mereka tidak mengerti. Akhirnya kami pun melihat pameran mengenai dokter Moewardi. Untuk ulasan lengkap mengenai dokter Moewardi, silakan klik link ini ya.

Setelah selesai, kami melanjutkan ke bagian depan kembali. Kali ini sayap kiri dari gedung ini berisi mengenai Wage Rudolf Soerpratman atau WR Soepratman. Selama ini kami hanya tahu beliau meninggal dalam usia yang cukup muda dan seorang pemain biola. Tetapi saat kami masuk ke ruangan ini, kami baru mengetahui kalau beliau adalah guru, wartawan dan salah satu tim dari band musik 
WR Soepratman
Lahir: Purworedjo, 19 Maret 1903. Meninggal: Surabaya, 17 Agustus 1938
Bisa menebak yang manakah WR Soepratman? 
Karena lagu Indonesia Raya inilah beliau dikejar-kejar oleh tentara Hindia Belanda bahkan sampai jatuh sakit dan meninggal di Surabaya. Tetapi ada satu bagian kisah yang sepertinya tidak pernah diceritakan dalam pelajaran sejarah saat saya masih kecil.
WR Soepratman dan adiknya.
Pada tahun 1927, WR Soepratman menghubungi perusahaan rekaman yang ada di Batavia, yaitu Odeon, Thio Tek Hong dan Yo Kim Tjan untuk merekam lagu Indonesia Raya. Saat itu pemerintah Belanda sudah mengendus adanya gerakan bawah tanah untuk kemerdekaan. Hanya Yo Kim Tjan yang berani untuk merekam lagu Indonesia Raya. Bahkan YKT mengusulkan agar merekam dalam dua versi, yaitu versi asli dimana WR Soepratman menyanyikannya sambil memainkan biola dan versi keroncong, musik yang saat itu sedang ngetop. Saat lagu Indonesia Raya dikumandangkan dalam Kongres Pemuda tahun 1928, piringan hitam ini pun langsung banyak yang terjual. Hal ini tentu saja membuat Belanda panik, dan menyita semua piringan hitam lagu keroncong, tanpa menyadari bahwa piringan hitam ini sudah dibuat setahun sebelum peristiwa Sumpah Pemuda. Tetapi YKT dan keluarganya menyimpan kepingan hitam tersebut dengan hati-hati, sehingga kita masih dapat mendengarkan lagu kebangsaan kita saat ini. Bersyukurnya kita karena waktu itu Yo Kim Tjan mau membantu untuk merekamnya.
Kiri: Biola peninggalan WR Soepratman.
Kanan:  Yo Kim Tjan dan anaknya, Yo Hoey Gwei
Setelah selesai melihat bagian untuk mengenal lebih jauh kisah lagu Indonesia Raya, maka kita akan mendekati pintu keluar. Tetapi pintu keluar ini pun unik. Ruangan menuju pintu keluar dipenuhi oleh tulisan-tulisan yang menggambarkan semangat dari Sumpah Pemuda itu sendiri, yaitu persatuan dalam membangun bangsa ini tanpa memandang suku, agama, dan ras.
Pemikiran dari Mohammad Yamin
Apa yang dapat kami simpulkan dari kunjungan kami ke Museum Sumpah Pemuda? Para tokoh-tokoh ini adalah orang-orang yang sangat menghargai perbedaan. Sumpah Pemuda dan pergerakan kaum muda bukanlah tercetus dari satu golongan saja, tetapi bermacam-macam golongan, suku, agama, dan ras. Selama menuju kemerdekaan bagi bangsa ini, mereka tidak memusingkan unsur sara. Hal ini terlihat dari tempat diselenggarakan Kongres Pemuda, dari mulai di gedung perkumpulan pemuda Katolik, bioskop Jawa Timur, gedung Kramat milik Sie Kong Liang, dan Yo Kim Tjan yang membantu dalam perekaman lagu Indonesia Raya walau taruhannya adalah ditangkap Belanda saat itu. Sungguh indahnya persatuan dalam keberagaman.
Tiada lagi SARA, yang ada hanyalah persatuan.

Ki Hajar Dewantara
Secara keseluruhan, tempat ini seru untuk dikunjungi bersama keluarga. Selain anak-anak belajar mengenai sejarah yang ada, kita sebagai orang tua juga jadi mengenang kembali masa-masa peristiwa Sumpah Pemuda. Dan biasanya, mendekati hari Sumpah Pemuda, Museum ini mengadakan banyak kegiatan. Yuk, membudayakan anak-anak melihat museum.

Museum Sumpah Pemuda
Jl. Kramat Raya No. 106
Jakarta 10420 Indonesia
Telp. (62-021) 3103217, 3154546
Fax. (62-021) 3154546
e-mail : museumsumpahpemuda@yahoo.com
http://www.museumsumpahpemuda.com
Jam operasional: 08.00 - 15.00, tutup di hari Senin.
HTM: Rp 2.000 - Rp 3.000,00

2 comments:

  1. aku inget sumpah pemuda pas sd doang, sekarang lupa -_-

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi.... Terima kasih sudah berkunjung dan menulis komentar:)

      Intinya sih satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Monggo, dikunjungi museumnya. Sekalian mengingat kembali Sumpah Pemuda dan melihat pamerannya:)

      Delete